Teknologi Kekuasaan

  • Whatsapp

Oleh: Hidayat Doe*

Kemarin sore, Senin (2/02/2021), saya kembali ngopi sama senior, yang juga antropolog keren di Universitas Hasanuddin, abang Tasrifin Tahara. Sekali pun ini masih era pandemi, pertemuan semacam di ruang kopi hampir tak bisa ditinggalkan.

Read More

Kita semacam saling merindukan untuk sekedar bertatap muka dan berbagi cerita. Di warkop, pembicaraan bisa bermacam-macam temanya, dari yang paling ringan, lucu-lucuan, sampai paling serius.

Saya biasanya menjadi pendengar ulung untuk mengikat sejumlah makna untuk dijadikan Ilmu Pengetahuan. Perbincangan terkadang tak terasa. Tiba akhirnya mentari sudah di ufuk barat lagi, dan bergegas mencari ruang ibadah untuk sholat magrib.

Tak puas di Warkop, kami bergeser ke kediamannya. Kebetulan, Bang Iping, demikian saya menyebutnya, baru saja pindah dari rumah renovasi barunya, saya sekalian bertandang ke kediamannya itu.

Di sana, di sebuah bilangan perumahan BTP, kami dibuatkan teh oleh sang istri, lalu makan malam bersama. Nikmat, bahagia, dan akrab rasanya. Perjumpaan ini bukan yang pertama, sudah berkali. Selepas makan, kami kembali ngobrol sambil seruput teh.

Saya menyaksikan ada jejeran buku yang berjubel di sebuah almari. Mataku berbinar melototi buku. Ada banyak bacaan menarik. Satu di antaranya adalah karya anak Buton ini yang pernah kuliah di Program Magister Antropologi Universitas Hasanuddin. Jujur saya tak mengenalnya. Saya kemudian dipernalkan kembali, sekalipun sebelumnya sang senior sudah mengenalkannya.

Dia adalah Nurlin. Alumni S2 Antropologi. Kelahiran Buton Utara. Riset etnografinya dibukukan. Saya salut, kecerdasannya melakukan penelitian dan menuliskannya. Topiknya juga berat, kombinasi Ilmu Sejarah, Antropologi, dan Ilmu Politik. Ini luar biasa.

Saya belum membaca semua isi bukunya. Tapi saya mengambil sebagian pembahasan penting tentang buku itu. Buku tersebut membahas relasi kekuasaan yang beroperasi di Buton dalam konteks sejarah dan kebudayaan Buton. Relasi kekuasaan itu sangat canggih. Karenaya bisa disebut sebagai teknologi kekuasaaan.

Buku ini menggunakan konsep pemikiran Foucault untuk mengungkap bentuk-bentuk relasi kuasa antara Kesultanan Buton dan Barata Kulisusu (yang kini mekar menjadi Kabupaten Buton Utara). Kajian ini tidak hanya mengulas sejarah masa lampau, bagaimana Kesultanan Buton menempatkan orang Kulisusu (sub-etnis Buton) sebagai bagian dari wilayah kekuasaan Kesultanan Buton, tetapi mampu menguraikan dinamika pemekaran wilayah yang berlangsung beberapa tahun lalu.

Saya salut, Nurlin mampu mengungkap fenomena sejarah, kebudayaan, dan politik antara orang Kulisusu dan Kesultanan Buton, dan hubungan Kulisusu dengan Kabupaten Muna.Tak banyak peneliti muda seperti dia. Saya berharap bisa bertemu dan berkelan dengan dia dj suatu masa.*

* Penulis adalah Ketua DPP RPI Bidang Pengembangan Kawasan Timur Indonesia, bekerja di Universitas Hasanuddin, Makassar.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

19 comments

  1. Pingback: Seal Online
  2. Pingback: u31 com
  3. Pingback: read more
  4. Pingback: situs bola
  5. Pingback: pod