Perjalanan Kesungguh-sungguhan

Oleh Yanuardi Syukur

Pelajaran paling pertama dari mahfuzhat di pesantren adalah kalimat ini: “Man jadda wajada”, yang artinya: “Barangsiapa (man) bersungguh-sungguh (jadda) dapatlah ia (wajada). Kalimat ini sangat mujarab, bahkan banyak santri yang terus jadikan inspirasi dalam kehidupan pasca-pesantren. Berbagai buku pun terlahir, bersumber dari kalimat tersebut.

Di dalam Al-Qur’an, Allah telah memberikan petunjuk yang berbunyi: “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut: 69)

Dalam kitab “Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam” karya filsuf besar Pakistan Muhammad Iqbal (terbit pertama kali 1930) ada catatan menarik. Dari ayat tersebut, Iqbal mengatakan bahwa “Seluruh upaya pencarian ilmu pengetahuan dan usaha pencapaian kesempurnaan serta tujuan yang tinggi dalam hidup, yang bermanfaat bagi kemanusiaan, merupakan usaha keras manusia di jalan Tuhan.” Demikian, catatan dan acuan pada buku terjemahan Mizan (2021:223).

Siapa yang ingin berhasil, ikutilah jalan-jalan keberhasilan. Pada suatu deep talk dengan istri, saya dapat ide sederhana: “Misalnya kita dari Depok mau ke Kota Tua. Cara paling mudah agar sampai adalah dengan mengikuti jalan-jalan menuju Kota Tua; dari Depok orang bisa naik kereta, misalnya dari Depok Baru dan turun di Stasiun Kota Tua. Satu kali duduk atau berdiri, tibalah di tujuan. Atau, lewati jalan dari Jalan Margonda terus ke Lenteng Agung, Pasar Minggu, Pancoran, dan terus sampai Kota Tua.” Pencapaian kita di Kota Tua itu karena kita bersungguh-sungguh dengan mengikuti jalan-jalan yang tersedia.

Terkadang, tujuan tidak menyediakan jalan yang mudah, olehnya itu kita harus membuka jalan. Waktu kecil di kampung, saya biasa ikut ayahku ke kebun. Dari rumah kami ke kebun masih penuh rawa. Maka, kami memilih lorong-lorong dari Jalan Pelabuhan tembus ke pasar, dan masuk cari jalan-jalan kampung yang bisa sampai ke situ. Ketika tidak ada jalan, kami dengan membawa parang membersihkan rawa-rawa itu agar terbuka jalan. Artinya, suatu saat mungkin kita diperhadapkan pada ketidaan jalan, tapi kita tidak bisa mengeluh; sebaliknya kita mencari cara bagaimana agar jalan bisa terbuka melalui kerja keras membuka jalan.

Dalam membuka jalan kita perlu rela berkorban. Sebagai lelaki tertua yang pekerja keras, ayahku dulu diberikan toko oleh kakek saya, sebuah toko di ‘jalan protokol’ kampung kami. Beliau terima itu, akan tetapi beliau memilih untuk membuat rumah baru di pinggir laut. Maka, ia mulai membuang batu satu demi satu sampai akhirnya berdiri rumah papan yang ditopang oleh kayu. Di samping rumah ia buka jalan kecil sebagai lalu lintas orang dari laut ke darat dan dari darat ke laut. Maka, orang-orang dari berbagai pulau yang hendak masuk ke kota kami dapat melewati jalan tersebut.

Kakak saya termasuk senang membuka jalan. Di depan rumahnya ada sebuah masjid. Lokasi itu awalnya rumah tua yang saya dan orang tua ke situ setelah ‘paras’ (potong) rumput di ‘kintal’ (tanah) kami. Tanah itu milik seorang janda tua yang sebelum wafat ia niatkan untuk pembangunan masjid. Maka, suaminya bernama Om Dodowo, saya panggilnya begitu, kemudian mewujudkan itu. Setelah jadi masjid, ternyata agak kecil, dan kakak saya berinisiatif untuk memperluas agar ada tempat untuk berwudhu bagi jama’ah. Maka, tanah peninggalan ayah diberikan bagian untuk masjid. Bagi kami, anak-anak yang telah disekolahkan jauh-jauh dari Pulau Halmahera ke Jakarta di pesantren, itu adalah ‘amal jariyah’ untuk almarhum.

Cerita di atas semuanya terkait dengan kesungguhan hidup. Siapa yang bersungguh-sungguh, dia akan dapat. Alkisah, ada orang tua yang susah sekali belajar. Dia kemudian lihat air menetes sedikit-sedikit, yang lama-lama melubangi batu. Dari situ dia dapat hikmah bahwa batu saja yang keras bisa berlubang jika ditetesi dengan air terus-menerus, apalagi dengan otak manusia. Pasti otak manusia bisa lebih mudah terima ilmu jika terus-menerus dilatih dengan ilmu pula.

Saya jadi teringat objek tentang Krimea. Awalnya saya tidak tahu semenanjung di Eropa Timur tersebut. Tapi setelah mendapatkan informasi satu, dua, tiga; kemudian bertemu orang-orang Krimea; kemudian berdiskusi tentang Krimea, lama-lama saya jadi mulai ‘ngeh’ tentang Krimea. Bahwa Allah mengajarkan kita manusia apa yang tidak diketahuinya tentang nama-nama (asma’) baik itu diri kita atau yang di luar diri kita; mikro dan makro kosmos. Walhasil, ketika diskusi dengan seorang pakar Krimea, saya jadi mudah nyambung, apalagi saya tambah lagi dengan bacaan baru terkait dengan objek tersebut.

Berarti, kunci mendapatkan ilmu adalah kesungguhan. Sungguh-sungguh untuk mau bisa, untuk mau tahu, untuk mau memahami lebih dalam, untuk mau membaca, untuk mau bertemu hal atau orang baru, untuk mau berdiskusi, untuk mau koreksi diri, dan untuk mau terus meningkatkan ilmu pengetahuan agar mencapai derajat pemahaman yang sempurna.

Sebuah doa yang baik sekali kita ucapkan berbunyi:

“Ya Allah, anugerahilah kami pemahaman para nabi, hafalan para rasul, dan ilhamnya para malaikat yang dekat (dengan-Mu”, sebab kasih sayang-Mu, wahai Dzat yang Maha pengasih.”

Dalam ranah kehidupan secara umum, kesungguhan adalah kunci. Namun, ada satu hal lagi yang penting dalam kesungguhan itu, yakni kerendahan hati. Orang bisa sukses dalam titian kariernya, tapi di puncak kesuksesan itu godaan untuk menjadi sombong sangatlah besar. Sejarah dunia menunjukkan itu, misalnya Hitler yang awalnya orang biasa, tapi kemudian saat jadi orang nomor satu di Jerman akhirnya menjadi totaliter demi ambisi berkuasa atas bangsa-bangsa lainnya.

Menjadi pribadi rendah hati juga butuh kesungguhan, butuh kerja keras, dan butuh perjuangan hari ke hari, waktu ke waktu. Nabi Muhammad saw bersabda, “Tidak ada seorang yang merendah hati karena Allah kecuali Allah akan meninggikannya” (HR. Muslim). Syekh Al-Azhar Ahmed Al-Tayyeb menulis: “…Allah memberi pilihan kepada Nabi Muhammad saw untuk menjadi seorang nabi yang raja atau seorang nabi yang hamba, beliau memilih untuk menjadi nabi yang hamba.”

Artinya, kerendahhatian di tengah potensi menjadi ‘orang besar’, ‘orang hebat’ yang diberi tepuk tangan, likes, dipuja-dipuji, dikutip sana dan sini, dibicarakan, dijadikan narasumber oleh para pihak, sangat potensial untuk menjadikan orang takjub dengan dirinya sendiri. Bahwa “saya bisa”, dan akhirnya seperti sisypus, yang narsis di depan air, dan setelah sisypus itu tiada tak ada juga kok yang berkurang dari air tersebut.

Bersungguh-sungguh untuk belajar, mencari cita-cita, dan memuliakan manusia harus jadi jalan juang kita. Umar bin Khattab pernah berkata: “Sejak kapan kamu memperbudak manusia sedangkan mereka dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merdeka?” Sebelum tidur tadi malam, saya sempat baca kisah perbudakan di sebuah tempat di masa lalu; orang-orang dijual-belikan kayak barang. Padahal, mereka lahir merdeka, kenapa harus memperbudaknya?

Akhirnya, bersungguh-sungguh adalah sikap baik yang harus dimiliki tiap orang. Secara natural, semua orang bisa sampai pada tujuannya jika dia melewati jalan-jalan yang ada, atau dia membuka jalan. “Jika tidak ada jalan, kita bukan jalan,” kadang itu yang ada di pikiran sederhanaku.

Namun, setelah mencapai sesuatu, satu hal harus kita ingat, bahwa perjuangan belum selesai; kita harus tetap bijaksana, rendah hati, dan tidak memperbudak manusia. Sebaliknya, memuliakan manusia adalah wajib, sebab Allah telah memuliakan semua anak cucu adam dalam firman-Nya:

۞ وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِىٓ ءَادَمَ وَحَمَلْنَٰهُمْ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ وَرَزَقْنَٰهُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَفَضَّلْنَٰهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Isra: 70)*