Air Mata dan Mata Air Pemilu di Perbatasan

  • Whatsapp

Oleh : Inggar Saputra (DPP Perkumpulan Rumah Produktif Indonesia)

Luas wilayah Indonesia terbentang lebar dari Sabang sampai Merauke. Saking luasnya Indonesia, satu sisi kita layak berbangga hidup di negeri ini. Tapi terkadang bentangan luas itu menimbulkan masalah yang tidak mudah diselesaikan. Sebab makin luas sebuah wilayah, jumlah penduduk dan kompleksitas masalah semakin rumit.

Salah satunya wilayah perbatasan sebagai garda terdepan pembangunan nasional. Beragam konflik lahir seperti konflik dari negara lain, potensi konflik bersenjata dan jalur transaksi gelap (narkoba, perdagangan orang dan jual beli senjata) jadi ancaman nyata. Faktor keamanan seringkali terjadi di perbatasan sebab melibatkan kepentingan nasional dua dan beberapa lebih negara. Tentu tiap negara punya kepentingan mengamankan wilayah dan kepentingan nasionalnya.

Konflik batin yang dirasakan warga perbatasan tentu banyak. Salah satunya berkaitan dengan keraguan makna nasionalisme. Atas dasar kepentingan ekonomi, seringkali nasionalisme warga perbatasan diragukan banyak pihak. Pagi jadi bangsa Indonesia, sore sudah menyeberang seolah jadi warga negara lain.

Pada titik ini, dibutuhkan kebijakan dan kebijaksanaan memandang warga perbatasan. Secara fisik, mereka akan tetap mencintai Indonesia. Keyakinan ini bukan tanpa alasan, banyak warga perbatasan menjaga identitas nasionalisme keIndonesia dengan upacara bendera, memakai bahasa Indonesia dan sekolah di Indonesia. Mereka terus berusaha “menjadi Indonesia” dengan cara dan ikhtiar terbaik yang dapat dijalankannya.

Meski harus diakui, godaan akan kesejahteraan ekonomi, potensi penghidupan atau produk di negara lain yang lebih murah jadi piliha logis kehidupan. Fenomena menyeberang batas negara seringkali menjadi sesuatu yang lumrah, tapi bernilai ancaman serius karena dapat mengikis jiwa kebangsaan. Apalagi jika terus dibiarkan bukan tidak mungkin ujian pindah warga negara akan terus terjadi disebabkan salah satunya alasan ekonomi. Sebab sulit dipungkiri, kebutuhan “perut” tidak dapat diselesaikan dengan semata bahasa ideologis.

Menjelang tahun politik di 2024 mendatang, salaj satu cara menjaga nasionalisme warga perbatasan adalah mendorong mereka aktif menggunakan hak pilihnya. Sebagai instrumen demokrasi, pemilu dapat dijadikan sarana efektif mengubah masa depan kehidupan warga perbatasan. Secara politik, sarana pemilu menjadi ajang konstitusional memanfaatkan hak untuk dipilih sebagai tokoh eksekutif dan legislatif. Warga perbatasan juga wajib memilih secara cermat, teliti, rasional, dan jujur kepada wakil rakyat yang kelak dipercaya mampu memperjuangkan aspirasi mereka.

Secara ekonomis, pemilu jadi momentum perbaikan menaruh harapan akan sosok pemimpin yang mampu mengubah nasib kesejahteraan mereka di masa mendatang. Jika ada yang meragukan nasionalisme mereka akibat faktor ekonomi, sudah waktunya warga perbatasan memberikan “titipan” kepercayaan kepada wakil rakyat yang mampu memperjuangkan insentif kebijakan atas ekonomi dalam kehidupan keseharian mereka. Tentu ini bukan persoalan instan, tapi paling tidak suara yang hadir dapat menjadi alat tekan kebijakan yang efektif dalam menciptakan aturan berorientasi peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat perbatasan. Jangan sampai keluhan yang ada tidak terfasilitasi sehingga pilihan bergabung dengan negara lain merugikan bangsa Indonesia.

Bagaimanapun di era globalisasi, relasi demokrasi dan nasionalisme tidak lagi menjadi suatu wujud yang terpisah. Melainkan bagaimana demokrasi dapat menjadi bagian pendorong terwujudnya nasionalisme politik, sosial budaya dan ekonomi warga di manapun berada. Apalagi negara sudah diamanahkan konstitusi untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum termasuk memperhatikan kesejahteraan ekonomi warga perbatasan. Tak kalah pentingnya, Pancasila memberikan mandat kepada kita agar mendesak negara menunaikan kewajiban untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pemilu adalah bentuk sah dan legal dari sistem demokrasi yang harus dimanfaatkan dengan baik. Sudah waktunya kita mengubah air mata warga perbatasan yang rentan kehilangan nasionalisme dan terpinggirkan secara terpolitik menjadi mata air kecemerlangan. Mengubah air mata luka menjadi tangisan mata air kebahagiaan agar mereka senantiasa diperhatikan negara. Tak ada yang mudah pasti tapi jalan menuju perbaikan akan terus ada dan dibangun oleh kita semua. Seperti kata orang bijak yang selalu berkata optimis “Ini sulit tapi bisa, bukan ini bisa tapi sulit”

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *