Korupsi dan Jaringan Personal

  • Whatsapp

Akhir Februari 2021, publik Indonesia dikejutkan dengan tertangkapnya seorang kepala daerah yang di satu sisi dikenal sebagai pribadi yang jujur, berprestasi, merakyat, cerdas, dan tentu saja: anti-korupsi. Tapi, penangkapannya oleh lembaga antirasuah dalam kasus suap dan gratifikasi terkait proyek infrastruktur di wilayahnya, membuat orang mencari tahu: Apa yang salah sehingga terjadi “korupsi oleh orang baik”?

Pertanyaan itu membawa kita pada diskusi soal korupsi dan jaringan personal. Selain bahwa korupsi itu bisa terjadi akibat kolaborasi beberapa aktor atau komunitas kecil, aktivitas merugikan itu juga sesungguhnya dapat dilihat pada konteks jaringan personal yang dimiliki sang aktor tersebut.

Aktor yang terlibat korupsi pada dasarnya melakukan tidakan keagensian, yakni mempengaruh dunia sekitar berdasarkan pada motivasi, kehendak, tujuan, intensi, inisiatif, kebebasan, kreativitas, atau singkatnya: “knowledgeable” atau berpengetahuan luas/mampu mengetahui (Giddens, 1976) dan: “berkemampuan pada derajat tertentu untuk mengontrol relasi sosial di mana agen itu berada” (Sewell, 1992).

Makin berkuasa, sang aktor makin potensial untuk koruptif dengan abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan), persis adagium “power tends to corrupt and absolut power corrupt absolutely”, bahwa kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut. Hadirnya struktur kuasa trias politika–eksekutif, legislatif, dan yudikatif–harusnya jadi solusi meminimalisir korupsi.

Pada 1982, Sosiolog dari University of California, Berkeley, Claude Fischer, menulis buku berjudul To Dwell Among Friends yang berfokus pada analisis terhadap pengaruh kehidupan urban terhadap masyarakat dengan membandingkannya dengan jaringan personal di kota besar dan kota kecil. Dalam buku itu, Fischer bahas soal relasi seorang aktor dengan keluarga, non-keluarga, tetangga, teman kerja, teman organisasi, dan teman biasa. Dia melihat bahwa jaringan personal itu sesungguhnya dapat dilihat dimensinya sebagai dukungan sosial (social support) yang juga memiliki dimensi spasial, yakni terkait dengan lokasi.

Dalam kehidupan kota, tulis Fischer, seorang aktor juga berkelindan dalam dirinya dinamika sosial-budaya, etnis dan agama, pekerjaan dan hiburan, serta ada kemungkinan mengalami keterasingan dalam kehidupan publik urban. Seorang pejabat atau tokoh publik misalnya, dapat menunjukkan sikap kuat, tangguh, anti-korupsi, tapi dalam relasi-relasi urban–yang kadang tidak selalu setara dan menyenangkan–sangat mungkin terjadi alienasi yang berdampak tindakan yang “ekstrem”.

Mengutip Erving Goffman (1980), dalam The Presentation of Self in Everyday Life, identitas individu ditampilkan lewat “panggung depan” (front stage), yakni “tindakan yang terlihat oleh penonton dan bagian dari pertunjukan”–yang bisa jadi berbeda jauh–dengan “panggung belakang” (back stage)-nya, yakni “tindakan seseorang saat tidak ada penonton.” Seorang aktor akan menampilkan apa yang disebut Goffman sebagai “manajemen kesan”, yakni “performa sebagai presentasi diri” yang diharapkan melekat secara spesifik di benak orang lain.

Dalam kasus korupsi, seorang aktor bisa terjebak dalam tindakan itu karena faktor jaringan pribadi serta adanya tindakan pertukaran. Relasi-relasi personal sebelum seseorang menjadi pejabat publik di level tertentu biasanya memiliki kaitan erat, apalagi berkaitan dengan adanya komoditas yang dipertukarkan. Sang aktor memberikan proyek, sementara sang pengusaha memberikan “upeti” kepada aktor pejabat tersebut.

Mengutip Fischer, Antropolog UI Achmad Fedyani Saifuddin (1952-2008) menulis: “…kata kunci dalam suatu hubungan tukar-menukar adalah akses kepada komoditi.” Kendati analisis Fisher tidak spesifik soal korupsi, begitu juga Saifuddin (2005) menulisnya dalam konteks “integrasi sosial golongan miskin” di Jurnal Antropologi Indonesia, tapi hemat saya analisa itu dapat dibawa pada ranah korupsi sebagai suatu set dari tindakan manusia.

Dalam tindakan korupsi, setidaknya ada empat hal yang bermain di dalamnya: aktor pemberi, aktor penerima, penghubung, serta komoditas. Aktor pemberi bisa pejabat bisa juga pengusaha yang bertindak secara sadar; aktor penghubung adalah orang yang menjadi perantara (biasanya “pangkat”-nya lebih rendah dari aktor pemberi/penerima), serta ada komoditas yang dipertukarkan seperti proyek yang di dalamnya ada “commitment fee” (uang komitmen) bagi para pihak.

Dalam konteks komoditas itu, ada uang yang dipertukarkan. Bisa puluhan juta, ratusan juta, bahkan miliaran–tergantung besaran proyek. Di situ juga maujud variasi istilah status uang, yang dalam riset Saifuddin terhadap “relasi sosial golongan miskin”, istilah seperti “uang dengar”, “uang diam”, dan “uang tutup mulut”, semuanya diatur dan dikembangkan “agar jaringan terpelihara” (Saifuddin, 2005). Uang pada akhirnya memiliki variasi makna ketika dipertukarkan antara satu aktor dan aktor lainnya atau satu konteks dengan konteks lainnya.

Jaringan personal seorang aktor dapat membuka banyak cerita panggung depan dan panggung belakang dalam konteks peristiwa. Jaringan itu dapat ditelusuri dari sekian banyak relasi kuasa seorang aktor dengan aktor lainnya baik dalam status yang setara atau tidak setara. Korupsi para pejabat sangat mungkin ditelusuri dari relasi aktor dengan jejaring personalnya yang acapkali lebih powerful ketimbang jaringan formal prosedural. []

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

115 comments

  1. Pingback: bonanza178
  2. Pingback: top tv sizes
  3. Pingback: spin238