Miras Merusak Kehidupan

  • Whatsapp

Sebagian orang percaya bahwa miras itu positif tapi sebagian yang lain memandangnya negatif. Kelompok pertama meyakini bahwa miras dapat memberikan mereka inspirasi, semangat, bahkan kesegaran kepada tubuh. Tradisi di dunia barat umumnya meyakini bahwa miras adalah bagian dari ‘mekanisme adaptif’. Sementara itu, kelompok kedua menganggap miras itu–banyak atau sedikit–tetap haram (terutama kalangan agamawan) dan “bahayanya lebih besar dari manfaatnya” (Alodokter, 2018).

Terkait dengan miras itu, kemaren saya baca berita. Pada dini hari ada penembakan yang terjadi di salah satu kafe di Cengkareng, ketika yang minum itu ditagih biayanya sekitar 3juta. Mungkin terasa terlalu besar sampai si pelaku merasa tidak mau membayar. Atau, mungkin memang sedang tidak ada uang, tapi memang saat itu ia lagi butuh dengan miras.

Read More

Kejadian ini, dan kejadian yang sebelum-sebelumnya sebagai dampak dari miras itu ternyata banyak mudaratnya. Memang, sebagian ada yang merasa lebih hangat tubuhnya, tapi dalam banyak hal dampak buruknya lebih banyak. Jika kita ingin menciptakan kehidupan yang harmonis dan sehat tentu saja kita lebih bagus pilih yang menyehatkannya lebih banyak.

Suatu ketika, saya baru saja pulang dari mengisi diskusi di sebuah radio di Pangkep. Saat duduk di angkot, tiba-tiba dari belakang ada motor melaju kencang dan menabrak trotoar. Sang pengemudi jatuh. Tak sadar. Dan, tak ada yang ingin mendekat.

Bersegera saya bilang Pak Sopir agar berhenti. Saya turun, dan memberanikan diri membantu si pengendara itu. Saya pinggirkan. Ada seorang lagi yang mau bantu. Saya bilang ke Pak Sopir untuk menunggu, tapi ia tidak mau menunggu, dan langsung tancap gas.

Pengendara laki-laki itu tidak ada salah apa-apa. Ia tidak tabrak orang, atau menabrak orang lain. Hanya menabrak trotoar, dan ia terjatuh, dan tidak sadarkan diri.

Setelah bertanya-tanya, rupanya lelaki itu baru saja minum minuman keras di salah satu tempat di Pangkep. Setelah minum, ia membawa lari motornya dengan kencang. Saat ia jatuh, tidak ada orang yang mau mendekat bantu. “Takut pak, jangan sampai kita dianggap pelakunya,” kata seorang warga. Ketakutan warga ketika hendak menolong kemudian disudutkan sebagai pelaku.

Bersama beberapa orang, saya kemudian berinisiatif untuk membawa lelaki malang itu naik angkot—bak terbuka—menuju Rumah Sakit Unhas, di Tamalanrea. Setiba di sana, beberapa keluarganya pun datang menjenguk. Memang tidak parah-parah amat sakitnya, tapi jauh di trotoar dan tidak ada yang bantu merupakan sebuah musibah yang cukup berbahaya.

Mabuk memang bahaya, apalagi jika setelah mabuk berkendara. Sudah banyak kasus kecelakaan yang diakibatkan oleh mabuk. Yang paling dekat adalah kasus seorang lelaki yang merebut stir mobil dari seorang sopir dan menabrak secara beruntun beberapa orang. Beberapa waktu lalu, di taksi sekitar Arteri Pondok Indah, tempat kejadian perkara tersebut, saya bertanya pada sopir pendapatnya terkait dengan kecelakaan tersebut.

Sang sopir bilang, “Kecelakaan itu murni karena mabuk, akibat obat-obatan. Kalau karena mengantuk pasti ketika dia tabrak satu kali, dia langsung sadar, tapi ini tabrak satu lagi dan dia tabrak lagi kedua kalinya.” Begitulah gara-gara mabuk, pikiran jadi hilang, tidak sadar, dan mengakibatkan bahaya bagi orang lain.

Mabuk memang bahaya. Maka, semua kita seharusnya menjaga lingkungan masing-masing dari bahaya mabuk, baik yang dilakukan dengan cara-cara tradisional seperti miras-miras buatan sendiri, atau lem aibon dan sejenisnya, atau juga oplosan yang beberapa kasus menghilangkan nyawa. Peran kita semua, pemerintah dan masyarakat sipil haruslah bersama untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan obat-obatan dan merebaknya miras di masyarakat.

Kasus yang terjadi pada lelaki yang jatuh di trotoar di Pangkep, dan kasus-kasus kecelakaan lainnya adalah bukti bahwa mabuk itu membuat kita tidak sadar, tidak berpikir normal sebagaimana manusia, dan membahayakan—diri sendiri maupun orang lain.

Kejadian itu adalah contoh dari miras.

Saya ada contoh lainnya. Orang-orang di sekitar rumahku di kampung cukup sering menenggak miras. Ada yang karena miras itu sampai memukul istrinya: KDRT. Ada juga yang teriak-teriak malam-malam. Ada juga yang bilang: “Pukul saya, pukul saya”, waktu dia mabuk. Itu jadi potret sehari-hari di masyarakat pantai.

Waktu SD, saya biasa pulang mengaji malam. Kadang jam 11 atau jam 12. Pernah juga lebih dari itu. Sesekali kalau lagi pulang mengaji itu saya lihat ada orang yang tidur di depan pertokoan. Tidur kayak tidak ada tempat tinggalnya. Mabuk sebabnya. Saya kadang kasihan, tapi mau bagaimana. Itu nggak cuma sekali, tapi berkali-kali.

Artinya, orang yang mabuk itu tidak sadar apa yang dia lakukan. Bahkan bisa mempermalukan orang lain, dan dirinya sendiri.

Saya jadi ingat sebuah lokasi “segitiga bermuda” di Wina. Daerah situ disebut kayak gitu karena pemandangan siang sama malamnya beda banget. Sebelum matahari tenggelam, daerah itu sibuk dengan orang-orang Yahudi yang asyik-masyuk dalam ibadah. Di situ ada sinagog tertua di area yang merupakan peninggalan Perang Dunia Kedua di Austria.

Tapi, menjelang malam, suasananya berubah total. Hedonisme mulai muncul, dan orang sering mabuk sampai pagi. Memang, di sekitar situ ada beberapa kafe tempat orang-orang menikmati dunia malam. Saking tren bagi pemabuk, daerah situ banyak orang yang mabuk sampai nggak sadarkan diri, tersungkur kemana-mana.

Sebab itulah daerahnya dinamakan “segitiga bermuda”, karena daerahnya itu kalau orang datang malam dan menikmatinya akan mabuk sampai nggak sadarkan diri, seperti pesawat yang masuk ke wilayah Bermuda dan hilang dari radar–yang biasanya kita ikuti juga dalam buku Muhammad Isa Daud.

Waktu terjadi teror di sekitar situ, orang-orang pada bertanya, “Ini karena apa?” Sangat mungkin bukan menyerang sinagog, karena sinagog sudah tutup di malam itu. Paling mungkin menurut saya adalah teroris itu menyerang simbol hedonisme, seperti juga bom yang meledak di Bali. Itu menyerang simbol hedonisme. Pastinya kita tidak setuju dengan tindakan teror itu. Karena itu bagian dari merusak kehidupan.

Dari beberapa data di atas, saya berkesimpulan bahwa miras lebih banyak mudaratnya. Sebagai muslim kita dilarang untuk menenggaknya. Prinsipnya, apa yang dilarang memang sudah jelas, termasuk miras. “Sedikit atau banyak, tetap haram,” begitu kaidahnya.

Berpijak dari beberapa cerita di atas, rasanya lebih baik kita menghindarkan diri dari miras itu. Jika ada yang sudah menikmatinya, ada baiknya untuk memikirkan kembali soal manfaatnya bagi tubuh. Lebih baik kita hidup yang sehat semaksimal mungkin, dan tidak minum miras adalah salah satu caranya. []



Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

119 comments

  1. Pingback: euthanasie
  2. Pingback: raja bandarq
  3. Pingback: superkaya88
  4. Pingback: ks lumina