
100 tahun Nahdlatul Ulama dihitung berdasarkan tahun hijriah, dan hari ini, 17 Rajab 1444 H adalah hari pertama NU memasuki gerbang abad kedua. Mendigdayakan NU menjemput abad kedua menuju kebangkitan. Begitu tema diusung dalam puncak resepsi 1 Abad NU selama 24 jam sejak 07 Februari 2023 pukul 00.00 sampai 23.59 WIB. Bukan ormas pertama, namun terbesar. Kemarin, NU sekali lagi membuktikan bahwa massanya tidak main-main, kekuatan Ulama adalah kekuatan yang tidak bisa diremehkan.
Teringat penulis saat membaca berdirinya Komite Hijaz sebagai cikal bakal NU di tahun 1926. Komite Hijaz adalah hasil rembukan para Ulama pendiri NU seperti KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Hasbullah Bersama Ulama-Ulama lainnya melakukan diplomasi terhadap Raja baru Arab Saudi kala itu untuk menolak dibongkarnya makam Rasulullah dan menuntut diberlakukannya kebebasan Madzhab di Makkah dan Madinah. Komite Hijaz menyampaikan perihal tersebut dan akhirnya diterima hingga kini.
Nahdlatul Ulama dalam 100 tahun perjalanannya kerap membuktikan diri bahwa NU tidak hanya milik Ulama, NU adalah organisasi Ulama yang digerakkan oleh Santri dan rakyat. Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 membuktikan bagaimana seruan Ulama mampu menggugah serta menggerakkan rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Seruan Ulama dengan ketegasan sekaligus santun terasa ketika kita membaca seruan itu, betapa ghirah kecintaan terhadap NKRI dan keinginan untuk merdeka berhasil di gelorakan Ulama dalam Resolusi Jihad. 10 November kemudian di monumental kan menjadi hari pahlawan yang kala itu menggetarkan pihak lawan sehingga Indonesia menunjukkan bahwa ramah tamah warganya tidak sama dengan mudah diinjak pihak penjajah.
Ajaran ini tentu tak terlepas dari ideologi yang mendasari terbentuknya Nahdlatul Ulama yaitu Islam Ahlussunah Wal Jama’ah (Aswaja). Aswaja termaknai sebagai perilaku yang di ajarkan Rasul serta para sahabatnya. Lebih dari pada itu Aswaja merupakan titik tengah diantara tekstual nya Kaum Jabariyah dan Khawarij dengan liberal nya kaum Qadariyah dan Mu’tazilah. Titik tengah atau wasathi bermakna kesucian dan keadilan, maka Aswaja adalah sebuah kesucian dan keadilan diantara pemikiran pemikiran Islam yang kerap ‘nganan dan ngiri’. Islam sendiri lahir bukan sebagai agama pertama, namun Islam sejak lahirnya menyatakan diri sebagai agama penyempurna dari kakunya Yahudi dan bebasnya Nasrani. Islam memiliki ajaran tengah tentang bagaimana memaknai hubungan kepada Tuhan, Manusia dan alam.
Aswaja kemudian berlanjut dalam tinjauan fiqih yang menyatakan diri sebagai jalan tengah antara 2 hal berlebihan lalu mengambil jalan bijak ditengah. Madzhab Syafi’I misalnya yang mayoritas menjadi pegangan Ulama-Ulama Nusantara dipilih karena memiliki nilai-nilai ajaran tengah yang dapat diterima. Namun 3 madzhab lainnya tidak kemudian ditinggalkan oleh NU. Penerimaan inilah esensi dari makna Aswaja dalam tinjauan fiqih.
Ulama Nusantara yang memang menjalani ajaran Islam dengan cara sederhana dan tak lepas dari budaya lokal, terus memberikan corak dalam sejarah perkembangan Islam Nusantara. Aswaja tidak bertentangan dengan nilai budaya Nusantara yang dulu masih lekat diwarnai oleh ajaran agama lokal. Islam dengan konsep Aswaja adalah Islam yang fleksibel tanpa kehilangan jatidiri Aqidah dalam proses perkembangannya.
Aswaja dan kerangka jalan tengah (Wasathi) jangan kemudian dimaknai sebagai sisi yang berbeda dari sisi kanan dan kiri. Ia adalah bagian dari keduanya dalam sebuah ruang yang sama. Wasath adalah perilaku ketika kita berfikir ‘terlalu ngiri ’ maka kembalilah lagi ke tengah, begitupun sebaliknya. Maka Aswaja tidak berarti meniadakan Jabariyan dan Khawarij. Aswaja tidak berarti meniadakan Qadariyah dan Mu’tazilah. Aswaja adalah memahami semua ideologi namun berperilaku dengan adil antara kesemuanya.
Ahlussunah Wal Jama’ah seperti halnya konsep lain juga tak lepas dari kritik atas kelemahannya, namun kelemahan ini penulis kira hanya perlu menjadi acuan saja tanpa perlu meniadakan Aswaja dengan konsep luhur ajarannya. Bagi orang-orang yang memahami paham Aswaja, tak jarang mereka akan dianggap ‘plin-plan’ tak memiliki pendirian. Dianggap bermain dari 1 madzhab ke madzhab lain, bermain dari 1 pandangan ke pandangan lain meski yang sebenarnya adalah proses mencari titik tengah (baca: titik temu) dalam satu hal. Oleh karenanya, bagi orang-orang Aswaja perlu memiliki pemahaman mendalam terhadap perilaku tengah agar tak lantas menjadi lemah diantara kedua belah pihak.
Oleh karenanya, penulis dalam memandang kekuatan Ulama serta saripati Aswaja mencoba mengajak anda, kita semua untuk memahami NU dalam abad kedua ini bahwa :
- Ulama adalah salah satu kekuatan terciptanya kesejahteraan di Indonesia tak hanya urusan agama, namun Ulama adalah pilar yang akan memajukan Indonesia di dunia global
- Ulama adalah Pilar kelima demokrasi Indonesia dengan kayanya ‘nilai tengah’ Islam yang dibawa dalam tradisi Islam.
- Mengembangkan SDM muda NU non Ulama melalui tradisi Ulama, Adab diatas ilmu, tidak hanya kepada Ulama besar namun kepada setiap Ulama karena tidak ada kategori Ulama mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah kecuali ketakutannya kepada Allah SWT.