Membulatkan Tekad, Menggapai Cita-Cita

Membulatkan Tekad Menggapai Cita-Cita
Sumber: Kompasiana.com

Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakkal.” (QS. Ali Imran: 159)

Apa itu tekad? KBBI beri jawaban: kemauan (kehendak yang pasti), kebulatan hati, iktikad. Seorang yang bertekad berati: berniat, bermaksud.

Jika bertekad berarti berniat, berarti seorang yang bertekad adalah yang memiliki “keadaan mental yang merepresentasikan komitmen untuk melakukan suatu tindakan atau tindakan di masa depan.” Sehingga ia membulatkan tekad (kemauannya).

Bagaimana dengan membulatkan tekad? Artinya: “membulatkan hati.” Sangat mungkin sebelum hati dibulatkan–dikuatkan, disatukan–hati tersebut masih terpisah-pisah, tidak menyatu. Maka, dibutuhkan suatu soliditas hati yang bulat dan kuat untuk mencapai sesuatu.

Merujuk pada ayat di atas, seorang yang telah membulatkan hatinya (dan juga bekerja sungguh-sungguh untuk itu), diajarkan untuk bertawakkal kepada Allah. Bertawakkal berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah dalam menghadapi, menunggu hasil suatu pekerjaan, atau menanti akibat dari suatu keadaan.

Jadi, alurnya: tekad yang kuat –> bekerja sungguh-sungguh –> menyerahkan diri kepada Allah dan menunggu hasil pekerjaan.

Sejauh ini motivasi sukses kerap dimulai dari mengumpulkan semangat, kemudian bekerja keras (ada yang mengubahnya dengan ‘bekerja efektif’), kemudian menunggu hasil. Hukum alamnya tidak lepas dari itu: bekerja dan berpenghasilan. Itu dalam arti seluas-luasnya. Orang berpenghasilan (dapat hasil) karena dia bekerja–apa pun dan dalam skala apapun jenis pekerjaan tersebut.

Berbicara masalah penghasilan, segala sesuatu di atas bumi sesungguhnya sudah ada rezekinya, ada takaran-takarannya. Tidak ada yang tercipta tanpa rezeki. Manusia misalnya, sejak dalam kandungan, tidak bisa melakukan apapun–bekerja, misalnya–akan tetapi ia dapat suplai masukan dari ibunya. Setelah hidup, ada juga orang yang kelihatannya tidak banyak bekerja, tapi rezeki mengalir begitu saja.

Di sini kita meyakini bahwa Tuhan memberikan rezeki-Nya kepada siapa yang dia kehendaki, dan jumlahnya juga terserah pada kehendak-Nya. Ada orang yang biasa saja pendidikannya tapi rezekinya melimpah, tapi ada juga yang tinggi gelarnya tapi terlihat biasa-biasa saja. Selain faktor usaha, juga ada faktor kadar yang Tuhan beri kepada tiap orang.

Mereka yang sudah berusaha tapi hasilnya masih terlihat apa adanya, maka agama juga memberi mekanisme sabar atau tabah yang dibarengi dengan shalat. Allah swt berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153)

Ada dua bagian pokok dalam kesabaran: sabar jasmani dan sabar rohani. M. Quraish Shihab dalam Kosakata Keagamaan (2020), menulis, bahwa sabar jasmani adalah sabar dalam menerima dan melaksanakan perintah-perintah keagamaan yang melibatkan anggota tubuh, seperti sabar dalam ibadah haji, peperangan membela kebenaran, menerima cobaan penyakit, penganiayaan, dan semacamnya.

Sedangkan sabar dalam rohani, lanjutnya, menyangkut kemampuan menahan kehendak nafsu yang dapat mengantar kepaa keburukan, seperti bersabar menahan amarah, atau nafsu seksual yang bukan pada tempatnya.

Dalam hidup ini cukup banyak hal yang kita tidak tahu, tapi kita berusaha ingin tahu. Sebagian memilih seakan-akan tahu, apalagi di zaman medsos seperti ini, orang berlomba-lomba jadi pusat perhatian dengan berbagai cara. Akhirnya, seolah-olah mereka tahu, padahal tidak, terutama substansi sesuatu. Melihat citra luar saja tidak cukup untuk mengenal kebenaran, butuh pendalaman agar hakikat sesuatu itu terbuka.

Di Al-Qur’an ada doa momohon ampun dan perlindungan dari hal-hal yang kita tidak tahu. Kenapa mohon ampun dan berlindung? Agar kita tidak keliru, apalagi mengelirukan orang lain–secara sengaja atau tidak sengaja.

Doanya berbunyi: “Ya Rabbku, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu untuk memohon kepada-Mu sesuatu yang aku tidak mengetahui (hakikatnya). Kalau Engkau tidak mengampuniku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku termasuk orang yang rugi.” (QS. Hud: 47)

Kita jadi yakin dalam hal ini, bahwa tugas manusia adalah berusaha mendekat kepada-Nya, bekerja sebaik-baiknya, dan momohon selalu lindungan-Nya. Setelah berusaha, serahkan pada-Nya: Tuhan sajalah yang menentukan. Bertekad sebulat-bulatnya, berusaha semaksimal-maksimalnya, dan menyerahkan diri seutuh-utuhnya untuk mendapatkan petunjuk-Nya.

Penyunting: Saleh

Related posts