RPI dan Karya Monumental

Sejak abad ke-7 hingga abad ke-12 masyhur di mana-mana kisah ‘kasih tak sampai’ dua anak manusia, Layla dan Qais. Sepanjang 5 abad itu nyaris tidak ada karya adiluhung terkait tragic story dua anak manusia dari kultur Badui tersebut.

Tapi, abad ke-12 itulah muncul Nizami, seorang pujangga dan juga sufi asal kota Ganja, salah satu kota di Azerbaijan yang dibangun sebab mimpi seorang gubernur Arab bahwa di bawah satu dari tiga bukit di situ ada harta karun. Suara dari mimpi itu mengatakan satu titah: gali dan gunakanlah harta itu untuk bangun kota.

Di tangan Nizami, lelaki dari kota ‘harta karun’ tersebutlah tradisi lisan itu diwariskan, dan dikemas jadi karya monumental. Layla Majnun, roman tersebut menjadi karya berpengaruh hingga 9 abad kelahirannya, sampai sekarang.

Buku tersebut bahkan dianggap sebagai “kisah cinta terbesar dalam khazanah sastra Islam” yang mengilhami pujangga masyhur Inggris, Shakespeare menulis Romeo and Juliet dan menginspirasi Maulana Jalaluddin Rumi menulis Masnawi dan Diwani Syamsi Tabriz. Buku yang tidak begitu tebal itu memberikan pengaruh pada sastra Arab, Barat, hingga ke Nusantara.

Manusia hanya hidup satu kali, maka karya monumental harus mereka lahirkan. Kisah cinta Layla dan Qais–yang menjadi gila, majnun–karena cinta, itu sebenarnya ada di mana-mana. Tapi tidak semua orang yang tahu bisa mengubahnya menjadi karya sastra besar. Cinta, penderitaan, serta harapan adalah unsur paling universal dalam diri manusia, di manapun mereka bernafas.

Bahkan, ketiga hal itu dapat melahirkan perang dan damai. Upaya untuk merebut hati Helene membuat dua orang besar, Pangeran Paris vs Raja Menelaus, mengobarkan perang Troya yang terekam abadi dalam mitologi Yunani. Cinta, dalam konteks ini menjadi ajang meniadakan, bukan menghidupkan.

Agak beda dengan Qais yang berusaha ‘menghidupkan’ cintanya, Layla. Orang sufi senang kisah ini karena mereka dapat representasi simbolik dari bagaimana seorang hamba dapat menjalin kedekatan dengan Tuhan lewat cinta, mahabbah.

Walau terkesan berlebihan, cinta seorang Qais menjelaskan bagaimana ketika cinta telah merasuk ke dalam jiwa, maka seseorang akan berjuang menjadi seutuhnya. “Waktu akan musnah, tetapi tidak dengan cinta sejati,” tulis Nizami.

Cinta sejati itu, dalam bayangan Nizami, tidak harus bersatu di dunia. Dalam banyak hal, tidak memiliki juga memiliki dalam bentuk yang lain. Bahkan, penderitaan juga kerap mengandung sesuatu–yang mungkin akan terbuka hijabnya di masa datang.

Siapa yang tabah terhadap penderitaan di dunia manusia, tulis Nizami, “ia akan bergembira dan hidup mulia di dunia.” Kata ‘dunia ini’ maksudnya: alam pascadunia. Dunia ini fana, sementara, sementara akhirat itu baqa’, abadi.

Nizami tidak banyak melahirkan karya sebagaimana penulis zaman 4.0 yang senang menumpuk kredit dan angka. Tapi, dia melahirkan masterpiece, unggulan, karya besar. Karya dia lainnya, “Gudang Rahasia”, “Tujuh Bidadari”, dan “Kitab Iskandar” tidak banyak dikenal, at least di Nusantara, akan tetapi sebuah Layla Majnun menjadi karya melegenda, melahirkan banyak manusia besar.

Syahdan, ketika Rumah Produktif Indonesia hadir, yang terlintas adalah keinginan untuk mencipta yang unggulan, yang utama, dan yang kamil; sesuatu yang produktif. Maka, satu sinergi pun bertemu dengan sinergi lainnya, dan akhirnya menjadi sinergi yang berlapis-lapis.

Semua itu tidak untuk meraih tepuk tangan, atau sejenisnya. Lebih dari itu, bahwa kebersamaan patut melahirkan keutamaan yang keutamaan itu maujud dengan lahirnya karya-karya monumental. *

Related posts