Etika Politik Di Era Zero Demokrasi

Oleh : Inggar Saputra (DPP Rumah Produktif Indonesia)

Politik di sebagian besar masyarakat Indonesia sering didefinisikan sebagai sesuatu yang kotor, jahat dan penuh kelicikan. Padahal sejatinya, politik adalah seni dan strategi merebut dan mempertahankan kekuasaan. Kalimat kekuasaan sering ditafsirkan menghalalkan segala cara, tanpa memandang moralitas. Kondisi ini menyebabkan banyak orang kehilangan moralitas dan etika dalam berpolitik.

Gaya berpolitik yang menepikan etika memang seringkali terlihat nyata. Meski secara akademis etika politik dipelajari, diajarkan dan diharapkan jadi perilaku politik yang baik. Tapi realitasnya, karena tuntutan politik yang dinamis dan mementingkan pragmatisme. Seringkali politik yang memandang yang benar disalahkan dan yang salah dibenarkan.

Beberapa hari ini, kita mendengar misalnya begitu mudah koalisi partai politik dibubarkan dan pasangan capres meniadakan etika dalam komunikasi politik. Tanpa mengajak bicara koalisinya, seketika sang capres pindah haluan demi kepentingan pragmatisnya. Semua berujung bagaimana kekuasaan diperoleh dan semua partai politik merasa berhak membenarkan strategi politiknya. Sekalipun ada komitmen yang dilanggar, kita terbiasakan dalam bahasa peraturan dibuat buat dilanggar sehingga membenarkan perilaku politik tanpa etika dan komunikasi politik yang baik.

Di tempat lain, kita juga melihat betapa kelonggaran aturan hukum dimanfaatkan menciptakan politik dinasti. Ada pimpinan partai politik mengumpulkan istri dan anak-anaknya untuk nyaleg dalam partai politik yang dibentuknya. Ada pula mantan menteri memajukan istri dan anaknya di dua partai yang berbeda. Tak mau ketinggalan perilaku politik partai besar yang “menurunkan” putri dan cucunya untuk memperebutkan kursi menjadi wakil rakyat.

Fenomena politik dengan mengabaikan komunikasi politik yang baik dalam berkawan atau berkoalisi jelas meminggirkan etika politik yang baik. Munculnya politik dinasti juga menimbulkan gejala mandeknya kaderisasi kepemimpinan di partai politik dan menumbuhkan oligarki politik. Membiarkan kedua gejala ini muncul tanpa adanya kritik konstruktif dan tindakan pencegahan secara hukum akan membuat demokrasi tidak berkualitas. Kondisi itu juga seolah membenarkan kuasa adalah milik segelintir elit yang tidak menciptakan sistem zero demokrasi yang menumbuhkan sistem elitisme politik para raja yang mewariskan kekuasaan secara turun temurun.

Editor: Tim Media RPI

Related posts