Tekanan Sebuah Nilai

  • Whatsapp

Oleh: Muhammad Hadad (SD Kesatuan Bogor)


Sekolah merupakan salah satu tempat untuk belajar. Di sekolah anak-anak yang biasa kita sebut dengan murid melakukan aktivitas selama kurang lebih 5 hingga 6 jam. Artinya separuh hari mereka dihabiskan dengan belajar dan bermain di sekolah.
Di Indonesia, sekolah memiliki beberapa jenjang mulai dari Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) hingga Sekolah Menengah Atas/Kejuruan (SMA/K). Sekolah Dasar menjadi jenjang utama sekaligus tumpuan bagi murid untuk bisa melanjutkan dan beradaptasi di jenjang berikutnya.

Read More


Kegiatan di sekolah yang kita sebut dengan proses pembelajaran selalu diwarnai dengan assesmen atau penilaian. Penilaian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana murid menguasai materi yang sudah diajarkan oleh guru. Hasil penilaian tersebut menjadi acuan bagi guru dalam menilai murid apakah dianggap “pintar” atau tidak.

Pertama, paradigma guru dan orang tua mengenai nilai. Dalam menilai kemampuan murid dalam menguasai materi pelajaran tentunya guru harus memberikan nilai sebagai bukti bahwa murid sudah mengalami pengalaman belajar. Namun, selama ini nilai yang dipahami adalah nilai yang berupa angka bukan nilai sebagai “value”. Paradigma yang sudah mendarah daging ini menutup pandangan murid dalam belajar. Mereka menganggap bahwa belajar untuk mendapatkan nilai 100. Padahal belajar merupakan proses bagi mereka mengenal dirinya, lingkungannya, serta mengembangkan potensinya untuk bekal kehidupannya di masa depan. Ketika murid berpandangan bahwa belajar untuk mendapatkan nilai 100, maka ketika mereka tidak mendapatkan nilai tersebut mereka merasa gagal dan bersedih. Bukankah proses belajar di sekolah itu harus dikemas secara menyenangkan?


Kedua, Semua orang tua akan bangga jika anaknya mendapatkan nilai 100 dari sekolah, namun hanya sedikit yang bahagia melihat anaknya mendapatkan nilai yang jauh dari 100. Sudut pandang orang tua yang menganggap bahwa anaknya cerdas dari nilai yang didapatkan akan menjadi sebuah bom waktu bagi anak mereka di kemudian hari. Anak-anak di sekolah dasar yang datang untuk bertemu dengan teman-temannya terpaksa membawa beban orang tua nya agar mendapatkan nilai agar orang tua merasa bangga dan tidak malu dengan orang tua murid lainnya jika anak mereka mendapatkan nilai yang kecil.


Ketiga, membentuk karakter. Anak-anak yang belum mengetahui apa-apa yang seharusnya di sekolah mereka diberikan “jalan” untuk memahami dirinya, namun kenyataannya anak-anak dipaksa untuk menjawab berbagai pertanyaan untuk mendapatkan nilai. Dengan aktivitas yang selalu dilakukan akhirnya anak-anak memahami bahwa di sekolah adalah tempat bersaing untuk menjawab setiap pertanyaan. Padahal sejatinya guru lah yang harus menjawab setiap pertanyaan dari murid. Hal seperti ini tentu akan membuat sekolah menjadi tidak menyenangkan dan membentuk karakter peserta didik yang tidak percaya diri dan malu bertanya. Sebab ketika bertanya mereka merasa orang bodoh, sebab orang pintar adalah yang menjawab. Padahal, orang bertanya jauh lebih pintar dari orang menjawab.


Jika kita runtut kembali dengan ujian yang dilakukan untuk menilai kemampuan anak di mana anak yang mendapat nilai 100 adalah yang pintar, tentu ini menjadi sebuah beban tersendiri bagi anak-anak di sekolah. Kita sering menjumpai fenomena menyontek ketika ujian berlangsung. Hal ini bukan disebabkan dari anak yang tidak belajar, namun dari tekanan yang secara tidak langsung diberikan. Guru akan menilai anak tersebut menguasai materi dari nilai yang berupa angka yang didapatkan bukan dari proses belajar sehari-hari. Maka tak heran banyak anak yang melamun ketika ulangan, mereka ketakutan jika tidak mendapatkan nilai 100.


Selain dari guru, kebanggaan orang tua yang senang dengan anaknya mendapatkan nilai 100 pun menjadi beban tambahan bagi anak di sekolah. Tak jarang ada anak yang dimarahi orang tua karena tidak mendapatkan nilai 100, mereka dianggap mempermalukan muka keluarga di sekolah.


Bisa kita bayangkan, anak-anak yang seharusnya bahagia di sekolah namun berubah menjadi ketakutan karena memiliki beban berat dalam mendapatkan nilai yang berupa angka. Pada akhirnya anak-anak akan melakukan kecurangan dengan menyontek agar mereka mendapatkan nilai 100 dan mereka tidak merasa bersalah bahkan bangga dengan nilai yang didapatkan dengan cara curang. Sungguh ironis jika melihat sekolah dasar sebagai pondasi anak-anak melanjutkan kehidupannya bisa berbangga hati dengan hasil kecurangan.
Hal tersebut akan menyelamatkan anak pada hari itu karena tidak akan malu dengan nilai yang bukan 100. Namun hal tersebut akan terekam dan tersimpan bahwa kejujuran bukan hal yang penting. Jika mengingat ucapan Kasino (Warkop DKI) yaitu, Indonesia tidak kekurangan orang pintar tapi kekurangan orang jujur. Maka hal tersebut adalah wajar terjadi, sebab di sekolah dasar pun anak-anak sudah tidak jujur dengan menyontek. Akhirnya menjadi sebuah kebiasaan.


Anak-anak tidak jujur karena mereka memiliki beban nilai dan tertekan dengan nilai angka. Pada akhirnya anak-anak tidak bisa memaknai proses belajar yang akan membantu dirinya mengembangkan potensi dan kecerdasan yang dimiliki.
Lalu, sebagai pelaku pendidikan dan orang-orang yang ada di sekelilingnya kita harus sama-sama memahami bahwa belajar adalah proses bertanya bukan proses menjawab. Biarkan anak-anak bertanya sebebasnya dan jangan bebani mereka dengan pertanyaan yang harus mereka jawab. Berikan mereka nilai berupa value bukan hanya berupa angka.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *