Strategi Bina Damai Rasulullah

  • Whatsapp

Oleh : Inggar Saputra (DPP RPI)

Wajah-wajah di lokasi paska banjirnya Makkkah itu tampak tegang. Mereka yang berkumpul jelas bukan orang biasa. Jabatannya cukup tinggi sebagai kepala suku. Semua hormat kepada para petinggi tersebut. Tapi masalah di terik panas belum selesai.

Mereka semua merasa berhak. Punya hak sama. Mengangkat batu hitam yang disucikan itu. Bagi semua kepala suku, itu simbolitas sakral. Siapa yang menaruh di Ka’bah. Prestisenya akan meningkat.

Di tengah keributan itu. Yang hampir memuncak dan berpotensi menjadi perang. Datang seorang pemuda, Muhammad namanya. Ketika dia menawarkan ide siapa yang datang duluan ke tempat renovasi Ka’bah maka dia berhak meletakkan Hajar Aswad.

Semua percaya kepada kepribadian Muhammad. Setuju saja para kepala suku dengan idenya. Bagi mereka, itu keputusan yang adil. Besoknya, Muhammad datang pagi ke lokasi tersebut. Sehingga Muhammad dapat kehormatan meletakkan Hajar Aswad.

Sungguh sederhana saja ide Muhammad itu sebelum menaruh Hajar Aswad. Dibentangkan sebuah kain. Setiap kepala suku memegang ujung kain. Hajar Aswad ada di tengahnya. Diangkat bersama, ketika sudah dekat tempatnya. Muhammad sendiri yang mengangkat dan menaruh Hajar Aswad. Masalah selesai dan semua terpuaskan atas gagasan itu.

Sejarah kemudian mencatat. Gagasan Muhammad sebagai konsep bina damai brilian. Resolusi konflik yang diciptakan mampu memuaskan banyak pihak. Tak ada penolakan, sebab mereka tahu siapa Muhammad. Sejak muda, sosok satu ini dikenal orang yang dapat dipercaya.

Muhammad adalah manusia yang dikenal cinta damai. Kemampuan melobi dengan prinsip saling menghormati, menghargai dan toleransi sudah jadi karakternya. Hidup di padang pasir yang tandus tidak membuatnya jadi pribadi kasar. Justru kelembutan sikap dan kecerdasan pikir berlandaskan hati nurani hidup dalam kepribadiannya.

Dalam studi perdamaian dijelaskan pentingnya partisipasi secara kolektif pihak yang berkonflik agar membiasakan musyawarah mufakat. Harus diciptakan kesepakatan positif dengan mengeliminasi kekerasan struktural dan kultural.

Ancaman konflik struktural terjadi karena egoisme antar kepala suku yang merasa paling berhak menaruh Hajar Aswad di tempatnya. Konflik kultural semakin memperburuk kondisi ini, dimana mereka terbudayakan berperang dalam menyelesaikan konflik antar suku atau kabilah.

Tapi Muhammad datang di waktu terbaik. Rasulullah yang mulia dengan kelembutan hati dan kecerdasan pikiran menjalankan enam tahap bina damai sebagaimana dianjurkan De Vost (2015).

Pertama, setiap kepala suku didengarkan pendapatnya dan pandangan itu dihormati sebagai sesuatu yang berharga. Kedua, setiap pemimpin suku diedukasi pentingnya menjaga perdamaian melalui konsep masing-masing memegang ujung kain tersebut.

Ketiga, adanya pemberian kepercayaan agar siapa yang datang duluan dari pintu berhak meletakkan Hajar Aswad di tempat terhormatnya. Keempat, mendorong setiap pemimpin suku berkomitmen menjalankan kesepakatan yang sudah disetujui bersama.

Kelima, adanya monitoring dan evaluasi dengan prinsip akuntabilitas dan egaliterianisme, dimana semua pihak yang berkonflik mendapatkan kesempatan sama melihat prosesi peletakan Hajar Aswad.

Keenam, adanya apresiasi dan dukungan positif antar semua pihak yang bertikai sehingga tidak ada yang merasa dirugikan atas keputusan yang dijalankan. Inilah Rasulullah, sosok manusia teladan yang mengajarkan kedamaian di hati manusia dan selalu mengedepankan pendekatan bina damai dalam menyelesaikan konflik yang ada di sekitarnya.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *