Doktor Kehormatan untuk Pejuang Kemanusiaan

Oleh: Yanuardi Syukur (Presiden Rumah Produktif Indonesia)

UIN Sunan Kalijaga baru saja memberikan Doktor Kehormatan kepada tiga tokoh: Dr. HC. KH. Yahya Cholil Staquf, Dr. HC. dr. Sudibyo Markus, MBA, dan Dr. HC. Cardinal Miguel Angel Ayuso Guixot, MCJJ. Acaranya digelar dalam sidang senat terbuka di Yogyakarta, 23 Februari 2023. Satu hal yang menyatukan ketiganya adalah sama-sama dikenal sebagai pejuang kemanusiaan.

Read More

Kata ‘pejuang kemanusiaan’ saya artikan sebagai berikut. Pertama, mereka adalah orang yang memikirkan kepentingan manusia secara umum. Secara umum berarti tidak hanya memikirkan kepentingan kelompoknya tapi juga memikirkan kepentingan manusia yang lebih luas.

Kedua, mereka adalah ‘manusia dialog’, yakni manusia yang senang berinteraksi dalam dialog. Selain perintah, kitab suci juga mengajarkan dialog. Ada banyak sekali perintah-Nya yang disampaikan dan harus dilakukan sebagai orang beriman, namun ada juga yang sifatnya dialog. Misalnya, ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama, itu terjadi dalam dialog. Jadi, dialog adalah bagian dari proses kita membentuk dunia bersama-sama.

Ketiga, mereka dikenal sebagai pemikir peradaban. Peradaban yang dimaksud adalah peradaban untuk semua manusia. Soal perbedaan, tentu tiap agama, institusi politik, dan komunitas memiliki ciri khas-nya. Ada yang dapat disatukan, tapi ada juga yang tidak bisa disatukan. Konsep toleransi ada sebab dalam kompleksitas dunia manusia, kita tidak hanya hidup dalam satu dunia tapi dalam dunia yang berlapis-lapis, berjejaring-jejaring yang tidak sederhana.

Ada keterkaitan antara satu orang dan orang lainnya, satu komunitas dan komunitas lainnya, satu negara dan negara lainnya. Untuk kepentingan bersama, maka manusia tetap harus berinteraksi, dan interaksi itu membutuhkan toleransi, keadilan, kejujuran, dan penghormatan terhadap martabat manusia sebagai sesama makhluk ciptaan Allah. Ketiga tokoh tersebut saya lihat berintensi dan berjuang untuk menciptakan peradaban untuk semua orang.

Selain tiga tokoh di atas, tentu ada banyak tokoh dan pejuang kemanusiaan lainnya yang patut untuk diberikan gelar kehormatan tersebut. Pemberian gelar tersebut tidaklah untuk gagah-gagahan akan tetapi sebagai bentuk apresiasi atas kerja-kerja kemanusiaan yang konsisten untuk kepentingan kehidupan bersama umat manusia di atas bumi.

Apa setelahnya?

Kita sadar bahwa kehidupan kita saat ini tidaklah sederhana. Ada banyak hal berubah dalam umat manusia disebabkan oleh perkembangan teknologi, informasi, dan kecenderungan manusia. Kompleksitas relasi antar-agama, antar-negara, atau antara-manusia dan teknologi begitu menantang. Kita tidak lagi sekadar dibentuk oleh manusia tapi juga oleh algoritma yang itu digerakkan oleh kecerdasan buatan. Minat kita pun secara sadar atau tidak turut dibentuk oleh teknologi tersebut.

Soal lanjutan setelah penganugerahan tersebut adalah bagaimana menghadirkan formula baru, terkini, berdasarkan studi & pengalaman manusia dari masa lalu dikaitkan dengan fenomena masa kini. Hari ini adalah akumulasi masa lalu, namun masa kini nanti akan jadi masa lalu juga. Maka, penting untuk melihat bagaimana kecenderungan masa depan umat manusia berdasarkan tren kemanusiaan, tata dunia global, atau faktor perubahan lingkungan. Pembacaan akan tren masa depan itu cukup penting untuk menciptakan proposal kehidupan kita di masa yang akan datang.

Tugas membuat proposal masa depan rasanya perlu jadi pekerjaan kita semua, terutama kaum terpelajar. Covid-19 misalnya, sempat tidak kita prediksi dia datang, dan tidak dipersiapkan secara matang oleh pemerintah sedunia. Padahal, dulu, sekian banyak pandemi telah melanda umat manusia dan mengakibatkan korban sekian banyak nyawa. Beberapa panduan menghadapi wabah memang ada, namun wabah yang menyerang lewat pernapasan dengan sangat eksponensial itu seharusnya dapat diprediksi oleh sarjana masa lalu. Mereka (seandainya bisa) mungkin dulu bisa buat skema-skema mutasi virus dan bagaimana damage kontrol kita terhadap itu.

Dalam skala peradaban, di awal dekade ketiga abad ke-21 ini mungkin bagus bagi kita untuk membuat proposal masa depan berdasarkan sekian banyak tren dunia. Indonesia 2045 sudah tentu ada beberapa yang buat–termasuk ILUNI UI–akan tetapi dunia 2045 (satu abad pasca perang dunia II), atau lebih jauh dari itu mungkin bagus dibuat pula.

Ilmu prediksi masa depan dikenal sebagai futurologi. Di bangku kuliah sejauh ini tidak banyak berkembang ilmu tersebut. Antropologi misalnya, baru mampu melihat gejala-gejala umum secara sinkronik dan diakronik, untuk kemudian menjadikannya sebagai satu pemahaman relatif dari dinamika manusia dan peradabannya. Gejala-gejala umum ditelaah untuk melahirkan satu tesis perkembangan dunia. Satu hal yang cukup penting dalam riset ilmu sosial adalah bagaimana konteks saat ini dibawa untuk mengantisipasi terjadinya konteks-konteks di masa datang.

Mungkin satu ilmu yang cukup penting kita miliki adalah: ilmu antisipasi, yakni bagaimana mengantisipasi masa depan agar berjalannya sesuai dengan kehendak kita bersama. Sudah saatnya para sarjana kita juga memikirkan, melanjutkan, atau membuat formula baru berdasarkan ilmunya masing-masing bagaimana mengantisipasi masa depan, terutama pada hal-hal yang tidak kita inginkan.

Depok, 14 Februari 2023

Editor: Tim Media RPI/Budiarto S.

Related posts