Politik Galasin

  • Whatsapp

Oleh : Nanda Khairiyah

Aku punya teman kecil yang dulu pintar main galasin. Iya. Galasin. Permainan tradisional yg isinya bukan hanya tentang adu fisik namun juga adu strategi.
Si pintar galasin ini hampir disetiap game pasti menang hingga kadang mengundang iri tim kampung sebelah. Tidak jarang, juga mengundang iri teman 1 tim karena score dibabat habis oleh si pintar galasin.

Read More

Satu waktu kulihat sebuah pengumuman dikantor lurah tentang lomba galasin antar kampung dimana pak lurah waktu itu menargetkan tim harus menang. Respon yang lain jelas, si pintar wajib ikut. Sekali rapat, berkali latihan, pak lurah sependapat untuk memainkan si pintar dan tim.

Namun…

Setelah baru saja pak lurah pulang rapat di kecamatan, beliau kumpulkan semua pemain minus si pintar dan mengatakan bahwa pak lurah akan membawa pemain dari kampung sebelah.
Disatu sisi pak lurah sampe import pemain pilihann. Akhirnya pak lurah manggil semua pemain selain si pinter ini. Pak lurah memberikan arahan biar pemain import yang tentu saja disambut wajah heran dari semua pemain. Anggota tim garis depan akhirnya berani bersuara dan mengatakan “Pak Lurah, kenapa harus import? Komposisi tim kami kan sudah lengkap sampai cadangan”. Pernyataan ini juga mendapat banyak respon dari semua yang hadir. Melihat reaksi ini kemudian pak lurah menyudahi rapat dan meninggalkan ruangan. Anggota tim garis tengah menarik lengan asisten pribadi pak lurah dan bertanya dengan penuh selidik. Kenapa?. Hanya itu yg dia katakan. Sang aspri dengan terbata menjawab “jangan bilang-bilang ya.. pemain import itu anaknya pak camat”.
Pak Lurah.


Dalam kebimbangan melihat reaksi tim, mencoba mendatangi pemain satu persatu, dengan harapan anggota tim dapat memahami maksudnya dalam rapat kemarin. “Tapi jangan pakai kendaraan dinas ya dan buatkan izin cuti sehari ini untuk saya” begitu perintah pak Lurah kepada asprinya. “Oya jangan lupa bingkisan dan amplop buat para pemain dibawa, itu arahan dari pak camat” pak lurah melanjutkan perintahnya pada Aspri. Ahhhh pak Lurah memang se random itu. Etikanya. Kata itu bergumam dibalik pikiran asprinya lengkap dengan wajah yang sedikit beku khas martabak yang disimpan di lemari es semalaman.

Dengan segala keberanian, pak Lurah mendatangi tim garis depan dan mengatakan agar semua pemain setuju pada 2 hal yaitu menambah pemain luar dan meminta si pintar galasin untuk mundur. Satu persatu mereka datangi dengan tak lupa membawa bingkisan dan amplop dan amplop dan amplop, yang nilainya lebih dari 3 amplop untuk 1 pemain. Pemain galasin memang tidak banyak, hanya 7 tim sudah dengan pemain cadangan sehingga amplop yang nilainya lebih dari 3 amplop itu tidak menguras kantong terlalu jauh.

Si pintar galasin. Disatu sisi, mendengar kedatangan pak lurah ke teman teman tim nya, ia pun dengan manis duduk dikursi ruang tamu yang sudah dirapikan ibunya itu. Kue kering sebanyak 3 macam ditambah 1 toples biji ketapang yang dibuat ibunya pagi tadi sudah siap menyambut kedatangan pak lurah. Teh manis, Kopi sachet sudah siap diatas kulkas dibeli ibunya dari waru g tetangga. 1, 2 jam pak lurah tidak kunjung datang, kepingan biji ketapang sudah mulai pindah dari toples kedalam mulut si pintar galasin. Bingung. Apa pak lurah tidak datang? Apa saya tidak diizinkan ikut tanding? Ahhhh banyak pikiran si pintar galasin kala itu.

Setelah menunggu lebih dari 2 jam dan menghabiskan 3 nastar, 5 biji ketapang dan 1 kue kacang, datanglah, tim garis tengah dengan berlari kerumah si pintar galasin. “Bang, denger y bang, buat kebaekan lo, mending lo mundur aja bang dari tim, ya bang ya. Pak lurah bilang kita mau pake pemain luar bang.” Mendengar ucapan itu si pintar mengernyitkan dahi, hampir tidak tertelan kue kacang dari tenggorokannya.
Keesokan harinya, satu persatu anggota tim menyambangi si pintar galasin, ada yang ajak bicara setelah latihan, ada juga yang sambil jalan ke Mushalla untuk shalat Maghrib, Ashar n Isya. Semua mengatakan hal yang sama seperti si garis tengah. “Ada apa ini? Kenapa gw diminta mundur?” Hanya itu yang terus diucapnya baik lirih melalui bibir tipisnya, atau ratusan yang diulangnya dalam hati.
“Oh ada pesanan di game sekarang”. Begitu kesimpulan menurutnya.

Waktu pun berlalu dan pertandingan hampir dimulai. Dengan kebingungan masih menyertai pikiran si pinter “kenapa saya ga boleh ikut main? Apa kurang pinter? Atau kalau pinter dari pemain baru?”

Anggota tim. Mereka adalah teman si pintar, main galasin bareng, shalat bareng, latihan hadroh bareng, sampe cari kenalan dari sekolah lain juga bareng. Tidak kuasa sudah menerima amplop dan bingkisan pak lurah yang membuat setiap hari semakin gamang bagi mereka. Akhirnya dalam ketakutan yang luar biasa, nurani si pemain belakang terketuk dan mengatakan yang sebemarnya kepada si pintar bahwa permintaan pak lurah karena perintah pak camat agar tim kita kalah, tapi jangan khawatir meskipun kalah hadiahnya lebih besar nanti. Bahkan untuk si pintar yang tidak main, akan diberikan sepeda gunung model terbaru yang harganya mengalahi motor Aerox.
Dan akhirnya, kuingat nama temanku itu. Rai. Semoga Rai tidak kapok menjadi tim Galasin. Entah. Karena cerita ini sudah 20 tahun berlalu.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

7 comments

  1. Seeing how much work you put into it was really impressive. But even though the phrasing is elegant and the layout inviting, it seems like you are having trouble with it. My belief is that you ought to try sending the following article. If you don’t protect this hike, I will definitely come back for more of the same.

  2. Thanks I have just been looking for information about this subject for a long time and yours is the best Ive discovered till now However what in regards to the bottom line Are you certain in regards to the supply

  3. I began browsing this great site a few days back, they create insightful content for customers. The site owner understands how to educate fans. I’m impressed and hope they continue sharing value.